FOKUSMETRO.COM — Aktivitas tambang ilegal di wilayah Gorontalo kini kian terlihat terang-terangan, tanpa ada upaya serius dari pemerintah maupun aparat penegak hukum (APH) untuk menghentikannya. Ironisnya, alih-alih ditertibkan, praktik yang diduga merugikan lingkungan dan masyarakat itu justru terus berjalan, seolah mendapat pembiaran dari pihak yang seharusnya bertindak.
Masyarakat pun mulai bertanya-tanya, apakah pembiaran ini disengaja? Apakah ada pihak-pihak yang turut bermain di balik tambang ilegal ini, termasuk oknum dari kalangan pemerintah dan aparat?
Kritik tajam dilontarkan oleh aktivis lingkungan Zasmin Dalanggo. Ia menyoroti ketidakhadiran nyata pemerintah dan APH dalam menangani polemik tambang ilegal ini.
“Jangan sampai masyarakat menganggap bahwa tambang itu dibiarkan ilegal. Karena kalau semua pihak diam, berarti ada dugaan bahwa semua bisa bermain, baik itu pemerintah maupun aparat hukum,” tegas Zasmin.
Tak hanya pembiaran, Zasmin juga menyinggung insiden pemukulan terhadap aktivis yang diduga terkait dengan kritik terhadap aktivitas tambang ilegal. Baginya, kejadian tersebut menambah catatan buruk kinerja aparat dalam menyelesaikan masalah di daerah ini bukannya hanya itu, masalah baru yang muncul yaitu
Isu “Joker” vs “Yosar”, dan Dugaan Setoran Peti
Belakangan, berbagai isu mencuat di media dan masyarakat terkait skema pengumpulan setoran dari penambang tradisional (PETI). Nama-nama seperti “Joker”, “Yosar”, santer disebut-sebut sebagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan upah hingga dugaan setoran kepada para petinggi. Bahkan, muncul informasi liar tentang besaran setoran: “Yosar 50 juta”, “Joker 30 juta”, yang hingga kini belum ditelusuri tuntas oleh APH.
Konflik juga mulai bermunculan di wilayah pertambangan, bukan hanya antara masyarakat dan pemodal, tetapi juga antar kelompok yang berebut pengaruh dalam “sistem tambang ilegal” yang disebut-sebut telah membentuk blok-blok tersendiri.
Zasmin menilai, pemerintah dan APH selama ini hanya bersikap reaktif, baru muncul ketika konflik sudah pecah. Ia menyindir gaya penanganan ini sebagai “datang seperti pahlawan kesiangan”.
“Kenapa tidak sediakan payung sebelum hujan? Kenapa selalu datang setelah konflik meledak? Kalau memang tak mampu, kenapa tidak angkt bendera putih lalu mengatakan kami lelah,letih dan lesuh ” kritik Zasmin pedas.
Zasmin menegaskan, sudah saatnya pemerintah dan aparat kembali pada tugas dan fungsinya untuk hadir secara konkret, bukan sekadar simbolik. Ia berharap ada tindakan tegas, transparansi, dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu dalam menyikapi persoalan ini.
“Lingkungan rusak, masyarakat terpecah, dan hukum tak berjalan. Ini bukan lagi soal tambang, ini soal integritas negara dalam melindungi rakyat dan alamnya,” tutup Zasmin.