FOKUSMETRO.COM – Di balik tembok tinggi dan slogan-slogan pembentukan karakter, Wira Bhakti Gorontalo menyimpan wajah kelam yang selama ini ditutupi oleh istilah “pembinaan”. Tempat yang seharusnya menjadi wadah pendidikan disiplin dan jiwa kepemimpinan itu justru menjelma menjadi ruang legalisasi kekerasan dengan topeng tradisi senioritas.
Laporan demi laporan dari alumni dan peserta pelatihan mengungkapkan pola kekerasan sistematis yang dibungkus dengan istilah “perpeloncoan”. Praktik ini bukan lagi sekadar insiden, melainkan telah membentuk kultur yang mengakar kuat—dianggap sah, diturunkan dari generasi ke generasi, dan ironisnya, dibanggakan.
“Di situ tidak ada pendidikan karakter. Yang ada adalah pembentukan mental dengan cara merendahkan martabat,” ujar seorang mantan peserta, yang masih mengalami gangguan kecemasan akibat perlakuan kasar selama pelatihan.
Push-up hingga pingsan, bentakan, makian, pemaksaan kerja fisik berlebihan, hingga pelecehan verbal bukan hal langka di balik tembok Wira Bhakti. Namun semua itu dibenarkan atas nama “pembentukan mental baja” oleh para senior yang merasa berhak mewarisi dan melanggengkan kekuasaan atas junior.
Di saat dunia pendidikan bergerak menuju pendekatan yang humanis dan berbasis nilai, Wira Bhakti Gorontalo justru menjadi anomali—mempertahankan sistem barbar yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.
Lebih parahnya lagi, para pengelola kerap tutup mata, bahkan terkesan membiarkan. Dalihnya selalu sama: “Sudah tradisi, semua angkatan juga mengalami.” Kalimat ini menjadi tameng kebal kritik yang melanggengkan rantai kekerasan antargenerasi.
Agung Puluhulawa, Komisaris GMNI Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo, mengecam dan mengutuk keras praktik kekerasan yang terjadi di Wira Bhakti. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa pembenaran atas dasar tradisi adalah bentuk dekadensi moral dalam dunia pendidikan.
“Pendidikan seharusnya menjadi ruang tumbuh yang aman dan manusiawi. Mengatasnamakan pembinaan untuk melanggengkan kekerasan adalah bentuk penyimpangan struktural dan kultural. Kami di GMNI FIP UNG tidak akan berkompromi terhadap praktik pelanggaran hak asasi manusia yang dibungkus simbol-simbol kedisiplinan semu,” tegas Agung.
Ia menambahkan, dalam perspektif pedagogis modern, metode kekerasan tidak hanya gagal membentuk karakter, tetapi justru memproduksi trauma, dendam sosial, dan pola kekerasan baru yang diwariskan secara sistemik. “Ini adalah siklus patologis yang harus segera diputus. Jika institusi ini tidak mampu mereformasi dirinya dari dalam, maka intervensi dari luar adalah keniscayaan.”
Agung Puluhulawa juga menegaskan bahwa GMNI Fakultas Ilmu Pendidikan akan mendorong investigasi terbuka dan melibatkan pihak independen, termasuk lembaga perlindungan anak dan psikolog pendidikan, agar pelanggaran yang terjadi dapat dibongkar secara menyeluruh dan transparan.
Kini, pertanyaannya bukan lagi siapa yang menjadi korban berikutnya. Tapi sampai kapan kekerasan dibalut tradisi ini akan terus dibiarkan?
Di tengah sorotan publik dan jeritan korban yang mulai berani bersuara, sudah saatnya Wira Bhakti Gorontalo dibongkar dari dalam. Tradisi bukan alasan untuk menyakiti. Budaya bukan pembenaran untuk melukai. Dan pendidikan, seharusnya tak pernah berwajah bengis.