FOKUSMETRO.COM – Tulisan ini saya mulai dengan menyinggung kembali riwayat pendidikan Wakil Bupati Gorontalo Utara sebuah kisah yang semakin dibaca, semakin terasa janggal. Jika bicara prosedur, catatan pendidikannya justru membuka ruang tanda tanya yang sangat lebar. Beliau tercatat menempuh pendidikan di SMP Negeri 4 Buluwangun, Jakarta, pada tahun 1982. Namun, ijazah SMA baru muncul dua dekade kemudian, yakni pada tahun 2002 di Gorontalo.
Dua puluh tahun. Jarak yang tidak wajar antara SMP dan SMA. Padahal, sistem pendidikan Indonesia secara umum menetapkan masa tempuh tiga tahun untuk SMP dan tiga tahun untuk SMA. Lalu bagaimana mungkin jarak itu melebar menjadi 20 tahun? Publik tentu berhak bertanya: apakah ini sebuah kelalaian, sebuah kejanggalan administratif, atau justru ada hal yang sengaja disembunyikan?
Keanehan tidak berhenti di situ. Beliau ternyata juga memiliki ijazah Paket C yang diterbitkan PKBM Samratulangi Manado—lembaga pendidikan non-formal yang menyediakan program kesetaraan. Pertanyaannya sederhana tetapi sangat mendasar: jika sudah memiliki ijazah SMA formal sejak 2002, mengapa masih mengikuti Paket C pada 2012?
Apakah ijazah formal itu diragukan keabsahannya? Atau ada kepentingan tertentu di balik pengambilan dua jalur ijazah sekaligus?
Dalam perjalanan karier politiknya, tentu patut diapresiasi bahwa beliau pernah menjabat anggota DPRD Provinsi Gorontalo periode 2009–2014. Namun justru di titik inilah kebingungan publik semakin memuncak. Seperti kita tahu, syarat pencalonan legislatif berdasarkan UU No. 10 Tahun 2008 adalah minimal ijazah SMA.
Jika ijazah Paket C baru terbit pada 2012, sedangkan ia sudah menjadi anggota DPRD sejak 2009, maka ijazah apa yang digunakan saat pencalonan?
Pertanyaan ini tidak boleh dibiarkan menggantung, apalagi jika menyangkut legitimasi jabatan publik.
Dalam Pilkada 2024, beliau kembali maju sebagai Wakil Bupati Gorut. Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 320/PHPU.BUP-XXIII/2025 memang menilai dalil dugaan ijazah palsu tidak beralasan, dan menyatakan ijazah Paket C dari PKBM Samratulangi sah. Namun MK tidak membahas bagaimana dengan penggunaan ijazah sebelum tahun 2012, khususnya saat pencalonan legislatif 2009.
Di sinilah lubang persoalan berada—lubang yang hingga kini belum dijawab oleh siapa pun.
Apakah pencalonan DPRD 2009 menggunakan ijazah yang sah?
Ataukah ada dokumen lain yang belum pernah diperiksa?
Jawaban dari dua pertanyaan ini menyangkut integritas pejabat publik dan kredibilitas proses demokrasi daerah.
Tidak heran jika ketidaksesuaian data ini memicu gerakan dari Aliansi Mahasiswa Peduli Gorontalo yang turun ke jalan menuntut kejelasan. Namun hingga kini, jawaban dari penyidik justru semakin menimbulkan kegelisahan.
Pertama, tim penyidik menyatakan hanya akan menguji keaslian ijazah Paket C melalui uji forensik, tetapi tidak menyentuh ijazah formal SMA yang justru menjadi pusat persoalan.
Kedua, alasan bahwa belum ada aturan yang mengatur penerbitan ijazah SMA formal dan ijazah Paket C secara bersamaan terasa terlalu simplistis dan tidak menjawab pokok masalah: mengapa kedua ijazah itu ada, dan mana yang digunakan untuk jabatan publik?
Pada akhirnya, kami menyerahkan persoalan ini kepada Polda Gorontalo untuk mengusutnya secara tuntas dan transparan. Namun kami, dari aliansi, tidak akan tinggal diam. Setiap pernyataan penyidik, setiap dokumen, setiap ketidakwajaran akan kami kaji ulang. Dan jika kami menemukan kejanggalan baru, kami akan kembali bersuara lebih keras.
Sebab bagi kami, integritas bukan sekadar syarat administratif—ia adalah fondasi moral seorang pemimpin. Dan jika fondasi itu rapuh, publik berhak mengetahui kebenarannya.






