FOKUSMETRO.COM – Sebuah insiden tidak menyenangkan diduga terjadi di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Gorontalo. Seorang aktivis mahasiswa mengaku mendapat perlakuan kekerasan berupa tamparan dari staf pegawai BKD Provinsi Gorontalo saat berlangsung diskusi terkait nasib Guru Honorer Non Database.
Pasalnya, insiden penamparan tersebut disebut terjadi tepat di hadapan Kepala BKD Provinsi Gorontalo, namun ironisnya tidak disertai teguran, peleraian, maupun tindakan tegas terhadap staf yang diduga melakukan kekerasan.
Peristiwa itu terjadi saat mahasiswa menyampaikan aspirasi dan berdiskusi terkait nasib Guru Honorer Non Database yang hingga kini belum mendapatkan kepastian status dan kejelasan kebijakan. Diskusi yang seharusnya menjadi ruang dialog justru berubah menjadi ajang intimidasi ketika salah satu staf pimpinan BKD diduga melakukan penamparan terhadap aktivis mahasiswa.
Lebih memprihatinkan, tindakan tersebut terjadi di ruang resmi pemerintahan dan disaksikan langsung oleh Kepala BKD Provinsi Gorontalo. Namun, menurut keterangan korban, tidak ada upaya peneguran, penghentian tindakan, maupun sikap korektif dari pimpinan instansi. Pembiaran ini dinilai sebagai bentuk legitimasi tidak langsung atas tindakan kekerasan di ruang pelayanan publik.
“Tindakan kekerasan itu dilakukan di depan pimpinan. Tapi tidak ada teguran, tidak ada klarifikasi, seolah-olah hal itu wajar,” ungkap korban.
Situasi ini memunculkan kritik keras dari kalangan mahasiswa dan aktivis. Mereka menilai persoalan ini tidak lagi berdiri sebagai kesalahan individu semata, melainkan telah berubah menjadi masalah struktural dan kepemimpinan. Pembiaran oleh pimpinan dianggap mencerminkan kegagalan dalam menegakkan etika aparatur sipil negara dan menciptakan budaya dialog yang sehat.
Mahasiswa menegaskan, jika benar kekerasan dibiarkan terjadi di hadapan kepala instansi, maka Kepala BKD juga harus dimintai pertanggungjawaban moral dan administratif. Sebab, pimpinan memiliki kewajiban menjaga ruang kerja tetap aman, beradab, dan bebas dari intimidasi.
Insiden ini semakin menegaskan kekecewaan publik terhadap cara birokrasi menangani aspirasi guru honorer non database yang selama ini terpinggirkan. Alih-alih menjawab substansi persoalan, aparat justru diduga mempertontonkan arogansi dan kekerasan, bahkan dengan pembiaran pimpinan.






