Tinggal Menghitung Hari, Pemilihan BEM UNG Tahun 2025 Terkesan Tidak Siap!

FOKUSMETRO.COM – Pelaksanaan Pemilihan Badan Eksekutif Mahasiswa (Pilbem) Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Tahun 2025 dinilai tidak siap. Sistem e-voting yang di terapkan tidak hanya gagal menjamin aksesibilitas mahasiswa, tetapi juga membuka luka baru dalam praktik demokrasi kampus ketidaksiapan, ketidakterbukaan, dan ketidakpedulian.

Sejak tahap registrasi dibuka, keluhan mahasiswa bermunculan. Sistem e-vote yang semestinya menjamin kemudahan justru menjadi tembok penghalang partisipasi. Banyak mahasiswa mengaku tidak bisa login, tidak mendapatkan kredensial pemilih, bahkan tidak mendapat kejelasan alur teknis dari panitia. Seolah-olah sistem disiapkan secara terburu-buru tanpa pengujian memadai.

“Ini bukan lagi soal error teknis. Ini soal kelalaian yang sistematis, Sebab yang menjadi vital menuju pemilihan yakni daftar pemilih tetap dari masing-masing fakultas ditentukan dari jumlah yang teregistrasi dalam website yang disediakan oleh KPL (Komisi Pemilihan Langsung) sebagai penyelenggara yang bekerjasama dengan Pustikom (Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi) UNG,” ujar salah satu mahasiswa.

Akan tetap dari jumlah DPT Tahun 2025 hanya 5.000 yang berhasil melakukan Registrasi sedangkan kurang lebih 80 persen mahasiswa masih gagal dalam proses pelaksanaan registrasi Pilbem.

Padahal, dalam konteks demokrasi, akses adalah segalanya. Ketika mahasiswa kehilangan hak untuk memilih karena kegagalan sistem, maka bukan hanya legitimasi hasil pemilu yang runtuh, tetapi juga kepercayaan terhadap seluruh institusi kampus yang terseret turun.

Ironisnya, di tengah berbagai kekacauan ini, tidak ada klarifikasi resmi yang meyakinkan dari panitia maupun pihak kampus. Tidak ada audit sistem, tidak ada evaluasi terbuka, tidak ada permintaan maaf. Yang ada hanyalah sikap diam sebuah refleksi dari budaya antikritik yang masih mengakar dalam birokrasi kampus.

Di mana fungsi pengawasan pihak birokrasi? Bagaimana mungkin sistem sebesar e-voting diterapkan tanpa simulasi publik, tanpa jaminan kesiapan, dan tanpa transparansi?

Fakta ini mengindikasikan satu hal, kampus telah gagal melindungi nilai-nilai demokrasi yang seharusnya dijaga di lingkungan pendidikan tinggi.

Pemilihan BEM bukan sekadar formalitas tahunan, melainkan wadah kaderisasi politik mahasiswa. Ketika prosesnya cacat, maka produk politiknya juga cacat. Lebih dari itu, mahasiswa sedang diajarkan bahwa demokrasi bisa diatur, bisa diabaikan, dan bisa dijalankan asal-asalan tanpa pertanggungjawaban.

Jika pemilu mahasiswa yang skalanya kecil saja tidak mampu dijalankan dengan bersih, bagaimana kita bisa berharap mahasiswa akan menjadi agen perubahan dalam demokrasi bangsa?

Situasi ini tidak bisa dibiarkan. Harus ada evaluasi menyeluruh. Panitia wajib membuka laporan teknis secara terbuka. Rektorat harus turun tangan, bukan sekadar menjadi penonton pasif. Dan mahasiswa, sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam demokrasi kampus, harus berani menuntut akuntabilitas.

Pemilu cacat tidak boleh dilupakan. Ini bukan hanya soal siapa yang menang, tetapi soal bagaimana proses itu dijalankan. Demokrasi yang rusak dari hulu akan melahirkan kepemimpinan yang tidak legitimate.

UNG harus sadar ketika demokrasi kampus dirusak, yang dipertaruhkan bukan hanya hasil pemilihan, tapi masa depan integritas akademik dan karakter politik generasi muda.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *