Pelantikan Anak Kandung sebagai Team Kerja vs Isu Bagi bagi Proyek Semakin nyata.
Oleh: Fanly Katili, S.Pd., S.H., M.H.
Fenomena kepala daerah yang melantik anak kandungnya ke dalam struktur tim kerja pemerintahan daerah bukan hanya persoalan administrasi atau politik semata, tetapi merupakan persoalan moral kekuasaan dan etika publik. Tindakan seperti ini adalah bentuk nyata dari erosi nilai-nilai integritas yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berkeadilan. PUBLIK KEMUDIAN MULAI MENGAITKAN KETERLIBATAN ANAK BUPATI DALAM Team Kerja TADI DENGAN FENOMENA ISU BAGI2 FEE PROYEK YG KINI SEDANG MENGGEMA.
Dalam konteks hukum positif Indonesia, tindakan pelantikan anak kandung ke dalam struktur tim kerja bupati Setidaknya jelas berpotensi melanggar prinsip larangan nepotisme sebagaimana diatur dalam beberapa regulasi berikut:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Pasal 5 menegaskan tentang setiap penyelenggara negara wajib menghindari perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Artinya : tidak melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1, Pasal 42 dan Pasal 43 yang Secara Eksplisit menegaskan tentang larangan pejabat pemerintahan mengambil keputusan yang memiliki benturan kepentingan termasuk kepentingan Pribadi dan Keluarga.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Yang mengatur tentang setiap pejabat wajib menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme dalam pengambilan keputusan jabatan, tanpa pengaruh hubungan keluarga.
4. Kode Etik Penyelenggara Negara yang dikuatkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Prinsip etika publik menekankan bahwa penyelenggara negara harus menghindari setiap keputusan yang memunculkan persepsi favoritisme atau nepotisme, demi menjaga kepercayaan publik.
Dengan demikian, pelantikan anak Kandung ke dalam struktur kerja resmi pemerintahan tidak hanya cacat etika, tetapi juga berpotensi melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). BAHKAN ISU BAGI2 FEE PROYEK YANG TURUT MELIBATKAN KEDUA ANAK KANDUNG YG MASUK DALAM JAJARAN TEAM KERJA KINI SEMAKIN MELENGKAPI KECURIGAAN PUBLIK TEHADAP PEMBENARAN DUGAAN PRAKTIK NEPOTISME YANG MEMANG SEJAK AWAL MENJADI SOROTAN TAJAM. Dampak Negatifnya adalah Merusak Moral Kekuasaan dan Kepercayaan Publik
Tindakan seperti ini, jika dibiarkan, akan semakin melahirkan preseden buruk bagi sistem birokrasi dan demokrasi lokal. Setidaknya ada tiga dampak serius yang harus diwaspadai:
1). Erosi Kepercayaan Publik. Rakyat kehilangan keyakinan bahwa jabatan publik didasarkan pada merit dan kemampuan, bukan hubungan darah. Ketika kepercayaan itu runtuh, maka legitimasi moral seorang pemimpin ikut terkikis.
2). Matinya Semangat Reformasi Birokrasi. Upaya panjang membangun sistem pemerintahan yang profesional dan bebas intervensi keluarga menjadi sia-sia. Aparatur daerah akan merasa tidak perlu berkompetisi secara sehat karena loyalitas darah lebih dihargai daripada prestasi.
3).Pembiaran terhadap Praktik KKN. Nepotisme adalah pintu gerbang kolusi dan korupsi. Ketika kepala daerah memberi contoh buruk, maka jajarannya akan meniru dengan cara yang sama, yakni menggunakan kekuasaan untuk melayani keluarga, bukan rakyat.
4). Pembenaran terhadap isu bagi2 fee proyek Semakin Melegitimasi Keyakinan publik.
Isu tentang dugaan keterlibatan kedua anak Bupati dalam pembagian porsi proyek akan semakin mempertegas tuduhan publik dan merupakan pintu masuk aparat hukum dalam membongkar dugaan praktek tersebut. Sehingga potensi sejarah kelam pada periode pertama sangat kuat untuk terulang kembali.
Dalam dimensi etika pemerintahan, seorang bupati bukanlah kepala keluarga di dalam kantor pemerintahan, melainkan pelayan rakyat yang harus menempatkan kepentingan umum di atas segalanya. Kekuasaan yang dijalankan dengan rasa memiliki (sense of ownership) atas jabatan publik akan berubah menjadi kekuasaan yang korosif dan feodalistik.
Seorang pemimpin yang benar justru akan menjauhkan keluarga dari lingkaran kekuasaan, agar keputusannya tidak dicurigai, agar wibawa pemerintahan tetap terjaga, dan agar rakyat tetap percaya bahwa negara ini masih diurus dengan hati nurani yang bersih. Sejarah Kelam yg pernah dialami dalam pemerintahan sebelumnya tdk akan menjadi momok bagi rakyat.
Melantik anak kandung ke dalam tim kerja pemerintahan bukanlah bentuk kasih sayang orang tua, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap nilai keadilan publik.
Jika praktik ini terus dibiarkan, maka kita sedang menormalisasi nepotisme dan menelantarkan cita-cita reformasi yang diperjuangkan dengan darah dan air mata.
Buah daripada pelantikan anak kandung dalam jajaran Tim Kerja Bupati ini seolah mendapat Gayung Bersambut, dengan munculnya isu publik yg semakin memperkuat spekulasi bahwa Aroma dugaan KKN ini semakin tumbuh dan mulai memperlihatkan wujudnya, dengan adanya video rekaman yg beredar ttg dugaan keterlibatan anak bupati dlm skandal Fee Proyek yg d ada dlm Pemerintahan.
Sudah saatnya masyarakat, lembaga pengawas, dan aparatur penegak hukum dan etika pemerintahan bersuara, karena diam di hadapan pelanggaran etika adalah bentuk persetujuan yang paling berbahaya.
