E-vote Ladang Transaksi Proyek dan memperkosa Hak demokrasi Mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo.

FOKUSMETRO.COM – Universitas Negeri Gorontalo (UNG) kembali menggelar Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden BEM tahun 2025. Namun, bukan pesta demokrasi yang hadir—melainkan reputasi buruk dari sistem yang rusak, tidak sehat.

Sistem pemilihan elektronik ini, alih-alih menghadirkan keterbukaan dan keadilan, justru menjadi proyek penuh kepentingan yang hanya melahirkan pemimpin boneka. Setiap tahun, mahasiswa dipaksa percaya pada proses yang sangat manipulasi, tanpa jaminan integritas dan kejujuran.

Djamaludin Puluhulawa, Ketua Komisi Pemilihan Langsung UNG tahun 2023, angkat suara.

“E-vote di UNG bukan hanya cacat, tapi menjadi penyakit demokrasi. Ini bukan sistem demokrasi, tapi mekanisme pembodohan massal yang diselimuti teknologi. Birokrasi dengan sadar melestarikan sistem ini untuk menjamin kepentingan, bukan keadilan,” ujarnya.

Melalui Surat Keputusan Rektor Nomor 213/UN47/HK.02/2025 dan Surat Edaran Nomor 310/UN47/HK.02/2025, pihak universitas kembali membuka jalan bagi sistem pemilihan digital yang sangat bermasalah. Ini bukan langkah progresif, melainkan bukti bahwa kampus lebih memilih stabilitas semu dari pada menegakkan nilai demokrasi sejati.

“Setiap tahun, rahim demokrasi di kampus ini diperkosa. Yang lahir adalah pemimpin dari proses pemilihan yang cacat, anak haram dari sistem transaksional dan manipulatif. E-vote tak lebih dari alat legitimasi palsu yang menjual suara mahasiswa demi proyek dan kekuasaan,” lanjut Djamaludin.

Ia menuding birokrasi kampus bermain mata dalam menyiapkan proses pemilihan “Nahkoda BEM”. Demokrasi pun tak lagi suci—ia dijadikan alat dagang, transaksi kotor, dan sandiwara rutin yang mematikan semangat perjuangan mahasiswa.

“Jika UNG masih punya harga diri, hentikan e-vote sekarang juga. Jangan lagi mengubur demokrasi dengan tangan sendiri. Jangan wariskan sistem yang busuk ini ke generasi berikutnya,” tegasnya.

Seruan Djamaludin bukan sekadar kritik—ini adalah alarm keras untuk membangunkan nurani sivitas akademika. Apakah kampus akan terus menjadi ladang proyek politik, atau rumah bagi pemimpin masa depan yang lahir dari rahim demokrasi sejati?

“Kalau UNG masih terus pertahankan e-vote, itu sama saja kampus melegalkan kecurangan. Ini bukan sekadar kelalaian, ini pengkhianatan terhadap demokrasi mahasiswa.”

Mahasiswa UNG tidak butuh teknologi pemilu palsu. Mereka butuh sistem yang jujur, adil, dan bisa dipercaya. E-vote adalah luka terbuka yang terus dibiarkan membusuk.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *