FOKUSMETRO.COM – Pemilihan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Negeri Gorontalo (UNG) tahun 2025 justru menjelma menjadi panggung kekacauan administratif dan pengabaian terang-terangan terhadap prinsip demokrasi kampus. Panitia Pengawas (Panwas), yang seharusnya berperan sebagai pengawal integritas, kini dinilai gagal menjalankan tugasnya secara profesional dan tidak mampu menjawab keresahan mahasiswa terkait keabsahan proses pemilihan.
Masalah bermula dari pemberlakuan registrasi ulang pemilih, yang dinilai bertentangan langsung dengan Surat Keputusan Rektor tentang Pemilih, khususnya Ketentuan Umum poin 9, yang secara eksplisit menyatakan bahwa pemilih adalah mahasiswa aktif pada semester berjalan. Artinya, seluruh mahasiswa aktif seharusnya otomatis memiliki hak suara — tanpa perlu registrasi tambahan yang tidak berdasar hukum.
Namun faktanya, banyak mahasiswa aktif justru tidak masuk dalam daftar pemilih hanya karena tidak mengikuti mekanisme registrasi ulang yang tidak pernah dijelaskan secara transparan. Praktik ini dinilai sebagai bentuk pembatasan hak pilih secara administratif, yang tidak hanya melanggar SK Rektor, tetapi juga mencoreng prinsip partisipasi universal dalam demokrasi.
“Ini jelas diskriminatif. Kami mahasiswa aktif, tapi hak kami dipangkas oleh sistem registrasi yang tidak pernah dijelaskan sejak awal. Panwas diam, seolah tidak paham aturan yang mereka jalankan,” tegas Majid.
Lebih parah lagi, Panwas tetap ngotot melanjutkan pemilihan dengan menggunakan sistem e-voting yang hingga kini tidak ada satu pun pihak yang dapat menjamin keamanannya. Tidak ada audit independen, tidak ada transparansi teknis, dan tidak ada jaminan integritas data suara. Meski begitu, proses tetap dipaksakan berjalan.
“Kalau Panwas dan bahkan Wakil Rektor III tidak bisa menjamin keamanan sistem, lalu siapa yang menjamin suara kami tidak dimanipulasi?” lanjut Majid, seraya mempertanyakan urgensi penggunaan e-vote yang justru memperbesar potensi kecurangan.
Dari berbagai pihak, kritik tajam terus mengalir. Aktivis kampus menilai bahwa Panwas bukan hanya tidak bertindak, melainkan telah menjadi bagian dari pembiaran sistemik yang mengancam kepercayaan publik terhadap proses pemilihan. Ketidakjelasan dasar hukum, tertutupnya informasi, serta terbatasnya akses mahasiswa terhadap hak pilih menjadi kombinasi berbahaya yang mengarah pada delegitimasi total terhadap Pilpres BEM 2025.
“Ini bukan lagi sekadar salah urus. Ini adalah pembajakan demokrasi oleh segelintir elite kampus yang berlindung di balik prosedur semu. Jika ini terus dibiarkan, UNG sedang menanamkan benih otoritarianisme sejak dari bangku kuliah,” tambah Majid dengan nada kecewa.
Kini, desakan semakin menguat dari berbagai elemen mahasiswa agar proses Pilpres BEM UNG 2025 dihentikan sementara. Tuntutannya jelas: pulihkan hak suara seluruh mahasiswa aktif, audit sistem e-voting secara terbuka, dan pastikan seluruh proses berjalan sesuai prinsip demokrasi dan aturan hukum yang berlaku. Tanpa itu, hasil pemilu ini tidak akan mencerminkan aspirasi mahasiswa, melainkan sekadar menjadi formalitas kosong yang mencoreng nama baik demokrasi kampus.